Tags

Teenage Death Star ~ Act Like A Concert ~ IFI Bandung, 8 Maret 2014*

Teenage Death Star ~ Act Like A Concert ~ IFI Bandung, 8 Maret 2014*

Lamunan saya tentang suasana malam di kota besar diawali dengan mencermati catatan Hawe Setiawan yang bercerita tentang lampu-lampu dan sosok-sosok yang bergerak seperti hantu. Pada tahun 2010 kami terlibat dalam sebuah proyek fotografi yang mendatangkan seorang fotografer dari Prancis. Namanya Romain Osi. Dia datang secara khusus ke kota Bandung untuk memotret suasana malam. Kumpulan karyanya kemudian dipamerkan di beberapa lokasi dengan tajuk yang ia beri nama “Keluyuran”. Saat itu saya ikut menemani dia menyusuri malam di kota ini.

Menurut Romain Osi, suasana kota di waktu malam memberi pemandangan yang lain dari apa yang biasa tercermati setiap hari. Saya kira demikianlah adanya. Kala malam tiba, suasana kota seperti memiliki dimensinya sendiri. Segala kesibukan yang terjadi di ruang kota seketika berubah wajah. Denyut kehidupan seakan berpindah ke ruang-ruang yang lain. Kadang di tempat-tempat yang tak terbayangkan sebelumnya. Meski jalanan terasa lenggang, rupanya orang kebanyakan tetap melanjutkan kehidupan. Merajut narasi keseharian dari sisi yang liyan.

Sejak orang menyalakan lampu gas di abad ke-19, terlebih-lebih sejak energi listrik merambat ke seantero bumi, orang membangun kehidupan malam di wilayah-wilayah urban.” Demikian uraian Hawe Setiawan dalam tulisan yang berjudul Kota Yang Keluyuran Malam Hari (2010). Di kota besar orang-orang merayakan malam sambil mencari terang yang temaram di warung kopi, pojokan café atau taman kota. Sebagian diantaranya ada yang berpesta sampai larut di kelab malam. Sementara sebagian yang lain tinggal di rumah sambil nonton TV, mendengar lagu dangdut di radio, atau sekedar berbincang-bincang.

Dalam pandangan Marshall McLuhan, rupanya kehadiran listrik dan lampu bohlam telah melahirkan dampak sosial bagi kehidupan yang sebelumnya diliputi oleh kegelapan (The Medium is the Message, 1964). Di kota besar, orang kebanyakan kemudian dapat melakukan banyak aktivitas di waktu malam. Diantaranya adalah aneka kegiatan yang tak pernah dibayangkan oleh orang-orang di abad lampau. Gelap malam yang diterangi oleh pendar lampu bohlam rupanya mencipta gairah dan rangsangan tersendiri bagi orang-orang yang tinggal di perkotaan.

Selain interaksi sosial yang baru, kehidupan malam ikut mencipta gairah baru di bidang ekonomi dan budaya masyarakat kota. Entah di New York, Paris ataupun Bandung, denyut kehidupan malam telah ikut mencipta irama tambahan yang bermakna macam-macam. Diantara segelintir warga ada yang melihat suasana malam sebagai lapangan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Bagi sebagian warga yang lain, suasana malam adalah sebuah lantai dansa yang juga berguna untuk memadu cinta. Sementara bagi sebagian yang lain, suasana malam menyediakan ruang jeda untuk menulis puisi. Mencipta karya seni.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh pemerintah kota San Fransisco pada 2012, kehidupan malam di sana adalah sebuah industri yang menopang pertumbuhan ekonomi kota. Pada 2010 kehidupan malam di San Fransisco sekurangnya mencipta 3.200 lapangan usaha yang mempekerjakan sekira 48.000 orang. Sebagian besar terkonsentrasi dalam usaha restoran, kelab malam, bar, pertokoan, galeri seni, dan gedung teater yang melayani sekitar 80 juta pelanggan serta menghasilkan pengeluaran sebesar 4.2 milyar dolar US. Dari pengeluaran ini, pemerintah kota mendapatkan kontribusi pajak sebesar 55 juta dolar US.

Sejumput studi ini barangkali merupakan satu dari sekian banyak contoh yang mencerminkan pertalian antara suasana malam dengan denyut kehidupan kota. Terkait dengan hal ini barangkali telah ada ribuan atau bahkan jutaan karya seni yang tercipta karena inspirasi yang berasal dari suasana kehidupan malam di kota. Narasi ini adalah cermin dari sejumlah aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya yang mewarnai kehidupan warga. Meski begitu, suasana malam di kota rupanya juga menyiratkan sejumlah tanda bahaya. Lepas dari segala romantisme dan gemerlap suasananya, macam-macam peristiwa kriminal juga kerap terjadi bila malam datang.

Karena hal ini misalkan, aparat kepolisian di kota Budapest menerbitkan peta kriminalitas (Budapest Crime Map) untuk mengurangi angka kejahatan pada 2012. Meski tidak serta merta dapat mengurangi angka kriminalitas 100%, seluruh warga dan para pengunjung kota seakan diajak untuk bersikap siaga dengan mengenali daerah-daerah yang memiliki potensi bahaya. Termasuk saat menyusuri kehidupan malam di sana. Peta ini ternyata ada gunanya. Dalam sebuah laporan, dituliskan bahwa “Kebanyakan pengunjung merasa bahagia dan aman ketika berkunjung ke Budapest.

Agar dapat mewadahi berbagai aktivitas dan kebutuhan warganya, denyut kehidupan kota barangkali berlangsung selama 24 jam setiap hari, 7 hari setiap minggu. Spektrum dinamika kehidupan kota begitu luas merentang dari siang hingga malam. Hampir tanpa jeda dan tanpa henti. Segala macam bentuk kesenangan, gairah dan semangat kehidupan ada di sana. Kehadirannya berkelindan dengan kesedihan dan marabahaya yang datang silih berganti. Terjadi hampir setiap saat dan setiap waktu. Dalam hal ini siang dan malam tak ada bedanya. Di kota ada sebuah ruang antara di mana segala kemungkinan bisa tercipta.

Meski begitu kehidupan malam selalu terasa khusus di ruang kota. Karenanya menurut Hawe Setiawan kegelapan malam tak mungkin bisa kita taklukan. Seringnya orang kota justru selalu merindukan malam. Di saat malam datang sebagian warga ada yang mencari hening di tempat sunyi, sementara yang lain memburu keramaian dalam pendar cahaya bohlam itu. Warga kota perlu melepas penat dari rutinitas keseharian yang kadang membosankan dan penuh dengan ketegangan. Suasana malam di kota menyediakan ruang jeda. Pembatasan jam malam justru mencipta ketegangan yang tidak diperlukan dan merugikan banyak orang.

Imam Bonjol, 9 Maret 2014

*Photograph by Tanya Wulansari

Diterbitkan di Harian Pikiran Rakyat, edisi 10 Maret 2014 (hal. 20)